Jika Para Pemimpin Mau Beri’tikaf


Posted on 23 July 2014 by mediappti


Jika Para Pemimpin Mau Beri’tikaf

Oleh: Ust. Jon Hariyadi S.Pd., MHI (Khodim Ma'had Tarbiyatul Iman)

 

            Rasulullah bersabda, “Jangan banyak bicara selain dzikir kepada Allah, karena banyak bicara selain dzikir kepada Allah dapat mengeraskan hati. Dan sesungguhnya yang paling jauh dari Allah adalah orang yang hatinya keras.” (HR. At-Tirmidzi)

            Hadis di atas melarang orang banyak berbicara, karena menyebabkan tumpulnya kesadaran jiwa. Menurut sabda Nabi di dalam hadis lain banyak omong berpotensi mendorong orang banyak melakukan kesalahan yaitu berdusta atau berbicara yang tidak perlu. Tetapi karena jago bicara, dengan retorikanya seseorang bisa meyakinkan khalayak bahwa omong kosongnya adalah benar. Maka menurut Nabi, diam adalah lebih baik dan sebagai pertanda tingginya kualitas iman, karena  memang susah mengontrol lidah sendiri, “Barangsiapa kepada Allah dan Hari Akhir hendaknya dia berkata yang baik atau lebih baik diam.” (HR. Bukhari-Muslim)

Pada momentum pensucian diri di bulan Ramadan, diajarkan agar orang yang berpuasa tidak banyak bicara. Digambarkan oleh hadis – dan memang kenyataannya demikian - bau mulut orang yang berpuasa tidak sedap dan dapat mengganggu orang di sekitarnya. Sehingga tidak perlu banyak bicara, jika tidak ingin mengusik ketenangan orang lain. Satu ucapan saja sudah mengganggu lawan bicara, bisa dibayangkan kalau sampai berbusa-busa. Secara simbolik hadis ini memerintahkan agar orang berpuasa mengendalikan lidahnya, untuk menghindarkan kerugian banyak orang dengan omongannya dan menurunkan kualitas proses pensucian dirinya, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)

            Ramadhan mengarahkan pengamalnya untuk belajar mawas diri, banyak melakukan instropeksi ke dalam dan terus berusaha mengasah kepekaan mata batin. Maka pensucian diri akan lebih baik dikonsentrasikan untuk memasuki relung-relung terdalam kesadaran, melakukan pengisyafan dan lebih melihat diri sendiri secara obyektif, jujur dan adil.

            Orang berpuasa memang sedang melakukan ‘pertapaan’. Dia harus menutup pintu inderawi; mata, telinga dan mulut yang lebih suka mencerap gemerlap duniawi. Karena itu seringkali menipu. Sebaliknya yang dibuka adalah pintu pikiran yang jernih dan kebeningan hati. Melihat carut marut realitas kasat mata dengan menggugah  keprihatinan. Hanya kesucian jiwa yang mampu menerobos hakikat ketidakjujuran, ketimpangan dan kekerasan dunia kasat mata.

Momen Ramadhan memerintahkan pencarian jawaban dengan terlebih dahulu menutup nafsu inderawi yang merupakan sekat tebal untuk menembus realitas diri dan sekelilingnya. Seseorang yang mengumbar nafsu tidak hanya mempengaruhi dirinya, tetapi juga keluarga dan orang di sekitarnya. Bagaimana jika hal itu dilakukan oleh seorang pemimpin? Pengaruhnya adalah terhadap banyak kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Nafsu bicara jika diteriakkan oleh tukang becak atau para bakul di pasar, hanya akan berpengaruh pada komunitas mereka. Tapi, bisa dibayangkan ketika nafsu bicara diungkapan oleh wakil rakyat, menteri, pemimpin partai atau bahkan presiden. Dampaknya, mempengaruhi stabilitas rupiah, stabilitas politik dan ujungnya stabilitas keamanan. Meskipun semuanya berdalih untuk melakukan perubahan.

Proses pengangkatan Nabi Muhammad yang terjadi di bulan Ramadan  sebagai titik tolak perubahan sejarah yang nantinya beliau lakukan dapat dijadikan sebagai cermin. Sejak muda, Nabi sudah sering merasa gelisah melihat realitas masyarakatnya. Tetapi beliau tidak banyak berkoar-koar melihat kenyataan seperti itu. Sebaliknya beliau menahan diri dengan menyendiri memikirkan kondisi masyarakatnya.

Melakukan khalwat (mengasingkan diri) untuk memperdekat hubungan dengan Yang Maha Kuasa diperlukan oleh siapapun. Selain sebagai upaya instropeksi diri juga untuk mempertajam kepekaan intuitif dalam menangkap ‘maksud-maksud’ Tuhan dalam kehidupan. Jika hal ini bisa dilakukan maka segala tindakan dan gerak akan ada dalam bimbinganNya. Tidak liar dan bebas nilai. Dalam keseharian hal ini bisa dilakukan oleh setiap muslim dengan tahajud .

Pada bulan suci khalwat dilakukan dengan i’tikaf di masjid. I’tikaf dilakukan dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula dari masjid. Hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran dihindari agar memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Di masjid, pikiran memperoleh kejernihan untuk merenungkan kondisi diri dan masyarakat.

Dan yang paling penting, i’tikaf  adalah sebagai bagian dari upaya menyambut Lailat al-Qadar yaitu malam kemuliaan yang akan memberikan perubahan besar bagi perjalanan hidup seseorang. Lailat al-Qadar yang ditemui Nabi pertama kali ketika beliau i’tikaf ketika melakukan perenungan tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau mencapai puncak kesucian, datanglah Jibril yang membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

I’tikaf  adalah puncak perjalanan pensucian jiwa di bulan suci yang diharapkan berujung dengan kembalinya jiwa kepada kefithriannya. Sehingga perjalanan puasa sejak awal dengan mengekang berbagai potensi-potensi destruktif jiwa adalah penyiapan diri untuk mampu beri’tikaf. I’tikaf  memang aktivitas hanya bagi  orang-orang yang ingin mensucikan diri. Karena itu, dilakukan di tempat suci (masjid) dan diisi dengan aktivitas-aktivitas suci. Konsekuensinya meninggalkan semua yang merusak kesucian baik pikiran maupun perbuatan.

Orang yang beri’tikaf ditekankan untuk memperbanyak ibadah, membaca Al-Qur’an, memohon ampunan dan berdo’a. Yang dituju adalah kebajikan dunia dan akhirat. Sehingga Nabi ketika beri’tikaf banyak berdo’a, “Wahai Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Tentu tidak sekedar perolehan kebajikan dunia dan akhirat tetapi juga ketangguhan, kemantapan langkah serta cara untuk mencapainya.

Berkaca kepada upaya Nabi dalam mencari solusi persoalan umat melalui i’tikaf , alangkah baiknya jika pemimpin-pemimpin mau melakukannya. Berbagai kontroversi politik yang mengusik ketenangan dan ketentraman nasional akan dapat dicegah. Statemen, manuver maupun atraksi akrobatik politik yang tidak perlu dapat dihindari. Sebaliknya, melakukan i’tikaf untuk memahami persoalan kebangsaan melalui perenungan yang jernih terhadap diri dan bangsa. Karena jangan-jangan sumber problem akut bangsa ini adalah pada para pemimpin yang masih perlu mengenali jati dirinya sendiri-sendiri. Dari situ perubahan mendasar kondisi bangsa kita harapkan akan dapat dimulai.


Tinggalkan Komentar: