Yang Sukses Puasanya


Posted on 29 June 2014 by mediappti


Yang Sukses Puasanya (Menghayati Idul Fithri)

Oleh: Ust. Jon Hariyadi S.Pd., MHI (Khodim Ma'had Tarbiyatul Iman)

 

            Sebagian istri - mungkin sebagian besar – bersedih hati jika isi semua toples hanya berisi marning. Atau beragam suguhan tetapi bahan dasarnya sama, yaitu jagung. Ada marning, emping jagung, popcorn, dan teman-teman semarganya. Ditambah busana yang ‘pantas’ belum mereka beli. Yang ada gaun satu atau setengah tahun lalu. Menyedihkan karena pada saat banyak orang menjubeli pasar atau pusat perbelanjaan, THR yang ditunggu belum jelas kabarnya. Semakin gundah saja mengingat pakaian anak-anak yang juga belum tersiapkan sementara lebaran semakin dekat.

            Apa kaitan suguhan atau pakaian dengan lebaran? Sebenarnya tidak ada.  Penilaian keberhasilan Ramadhan juga bukan dari makanan, pakaian, dan sejenisnya. Tapi coba perhatikan! Menjelang lebaran tiba, jika kita pergi ke pasar, mal, plaza, atau pusat-pusat perbelanjaan lainnya, kita akan melihat berjubelnya orang-orang berbelanja. Berita di media cetak maupun elektronik menginformasikan lonjakan omset perdagangan hingga berlipat kali lipat. 

Mari kita pergi ke masjid-masjid. Apa yang kita temukan? Jama’ah tarawih yang pada awal puasa meluber ke halaman masjid, pada hari-hari akhir Ramadhan hanya tinggal beberapa shaf saja. Gejala apakah ini?

Seperti orang mengayak tepung, yang lolos saringan hanyalah bagian terhalus. Seperti lomba maraton, peserta memulai start bersama-sama, tetapi beberapa orang saja yang mencapai finish sesuai peringkatnya masing-masing. Demikianlah orang-orang yang berpuasa menjelang akhir Ramadhan. Memulai puasa beramai-ramai, tetapi akan menghadapi tahap akhir sesuai dengan ketahanan jiwanya sendiri-sendiri.

            Suasana demikian, mungkin difahami sebagai ungkapan kegembiraan menyambut ‘Idul Fithri. Ketika tiba di Madinah Rasulullah pernah saw bersabda: “Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, (yaitu) ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i) Jadi, menampakkan suka cita di hari raya adalah sunnah dan disyari’atkan. Tetapi suka cita melalui perenungan dan penghayatan makna secara mendalam, bukan merogoh kocek yang menjadikan diri merasa memiliki “kepantasan” melewati hari raya.

Penghamburan di tengah rezeki yang memang sedang bertambah atau justru pemaksaan diri di tengah keuangan yang pas-pasan hanya karena ingin mengejar “kepantasan” yang tidak disyariatkan ini. Pengendalian diri yang ditanamkan nilai-nilai puasa sebulan penuh seakan tidak tampak lagi.

            Bagi orang-orang beriman, suka cita muncul karena keberhasilan dalam menyempurnakan ibadah, perolehan pahala, serta keyakinan terhadap janji Allah untuk mendapatkan anugerah dan ampunanNya. “Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.(QS.Yunus:58) Kegembiraan itu diekspresikan dengan menyanjung Allah melalui takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil. Rasa syukur itu ditampakkan setelah keterbebasan diri dari kungkungan hawa nafsu.

            Keterbebasan dari hawa nafsu merupakan pertanda kembali kepada jati diri  yaitu fithrah suci yang telah tertanam sejak awal mula manusia diciptakan. Allah mengetuk nurani untuk kembali kepada fithrahnya ini, agar dia mampu tegak di atas kebenaran; “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fithrah Allah yang telah menciptakan manusia dengan fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)

Fithrah adalah agama yang lurus yang harus dijalani manusia untuk membentuk dan memelihara kesucian dirinya. Di sinilah posisi puasa sebagai salah satu pilar Islam, memerankan dirinya sebagai sarana penting yang mengantar manusia menemukan kesucian dirinya. Keberhasilan menjalankan puasa adalah penemuan kesucian yang merupakan jati dirinya.

Ekspresi kegembiraan orang yang menemukan jati diri kembali, sejalan dengan sifat kesuciannya. Mereka tidak merayakannya di pasar, mal, plaza, atau tempat-tempat hiburan, tetapi dengan simbol-simbol kesucian seperti berdzikir dan semakin bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah. Menyambut datangnya hari pembebasan dari hawa nafsu di akhir Ramadhan dengan beribadah dalam rangkaian i’tikaf di masjid-masjid. Kegembiraan bersama Allah, ketika bisa menunaikan ketaatan kepadaNya. Tidak dengan aktivitas yang justru semakin melengahkan diri dariNya.

Kemudian keberhasilan pengendalian diri ditampakkan dengan berusaha membahagiakan saudara-saudara yang bernasib kurang beruntung melalui pengeluaran zakat fithrah, sedekah, dan lain-lain di malam ‘Idul Fithri. Mereka juga menebarkan kegembiraan kepada sanak kerabat, handai taulan dan teman sejawat secara tulus  Karena ia adalah bisikan kefithrian hati terdalam. Dinding pembatas sosial; jabatan, golongan dan status sosial dilampaui. Jarak antara atas dan bawah, golongan satu dan golongan lainnya dipersempit. Yanng ada adalah kejujuran untuk  berbuat apa adanya.

Ber’idul fithri berarti membersihkan noda kepada Allah dengan bertaubat kepadaNya. Sifat kasihNya yang berlimpah memandang kecil tumpukan dosa yang dikumpulkan setiap saat. Dosa kepada sesama disyaratkan ada pengakuan terbuka dengan meminta untuk diikhlaskan melalui penyucian dosa secara massal dengan seremonial halal bi halal.

Banyak yang menduga semudah itu. Memang satu riwayat hadis menyebutkan bahwa jika dua orang muslim bertemu dan saling bersalaman maka dosa di antara keduanya berguguran. Mungkin saja, jika kekhilafan itu dosa-dosa kecil antar individu yang tidak disengaja. Tapi jika akumulasi dosa itu karena kebijakan yang menyengsarakan banyak orang, menelantarkan ribuan karyawan atau menjadikan banyak orang di bawah tanggungjawabnya tidak memperoleh hak mereka dapat dihapus dengan seremonial yang konon terasa basa basi itu. Akan hilang dengan sendirinya melalui pembagian bingkisan lebaran atau THR sebagai hiburan sesaat setelah berbagai hak mereka diabaikan?

Kefithtrian yang diperoleh melalui taubat mensyaratkan tiga hal; meninggalkan perbuatan nista tersebut, menyesalinya dan tidak lagi mengulanginya. Kefithrian tidak otomatis diperoleh setelah ritual fiqh Ramadan dilakukan tanpa perubahan tindak tanduk. Justru, ini yang tidak mudah dilakukan oleh siapapun yang memiliki ‘hutang’ kesalahan pada banyak orang. Tetapi ketulusan akan selalu memudahkan siapapun untuk melakukannya. Kutulusan adalah sumber kekuatan dahsyat bagi seseorang untuk menggapai kembali kondisi fithrinya. “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali, hamba-hambaMu yang tulus di antara mereka.” (QS.15: 39-40)


Tinggalkan Komentar:


Setiawan   31 January 2015  

Semoga menjadi pribadi sukses. Artikel berikutnya ditunggu ya...